Jilbab
Gaya Hidup Efektif Muslimah
Sahabati : Riski Oktavianti (HPI)
Memasuki
kehidupan yang masif kebebasan seksual (freedom sex) Tentu kultur
manusia modern memandang ketelanjangan kaum perempuan salah satu bagian dari
sebuah kebebasan. Oleh karena itu, masalah jilbab dalam kurun waktu yang lama sudah menjadi perdebatan sebagian
kelompok yang dianggap sebagai pembicaraan yang berhubungan dengan masa lalu.
Realitasnya,
kebebasan tanpa limitasi ini justru melahirkan kebobrokan dan kerusakan. Tak
dapat dipungkiri, kecuali bicara soal jilbab. Sebenarnya mengenai jilbab
sendiri membutuhkan target lingkungan yang mempunyai trend tradisi Islami dan
negara-negara Islam seperti Iran juga mempersoalkan jilbab sebagai negara Islam
yang baik.
Justru
permasalahannya, urgensi mekanisme ini menjadi suatu keharusan dan
tuntutan dalam evaluasi pembahasan. Imam
Khomaini r.a mengungkap gambelang, "Hukum asli jilbab
merupakan satu dari ajaran prinsip Islam. Orang yang mengingkarinya berarti
mengingkari prinsip Islam. Sedangkan oknum yang mengingkari prinsip Islam maka
dihukumi kafir, kecuali bila dipastikan ia tidak mengingkari Allah dan Rasulullah Saw".
Yazid bin
Muawiyah berperan besar dalam upaya menghancurkan Islam dan mendzalimi umat
Islam. Salah satu upayanya dalam menghancurkan Islam adalah menghapus jilbab di
hari Asyura pasca kesyahidan Imam Husein a.s
dan para sahabatnya. Tapi upaya itu berhasil digagalkan oleh Imam Sajad as dan
Sayidah Zainab a.s melalui
ucapan mereka, terutama khotbah Sayidah Zainab s.a
di tengah majelis Yazid yang secara terang-terang menyanggah Yazid. Beliau
berkata, "Engkau telah mencabik-cabik tirai jilbab para perempuan Ahlul Bait dan
mempertontonkan wajah mereka."
Padahal masa
itu para perempuan Ahlul Bait sangat hati-hati dan menjaga jilbabnya. Mereka
pun ikhtiar sebisa mungkin untuk menutupi wajahnya. Bani Umayah telah melakukan
penghinaan terhadap perempuan Muslim dan dicatat oleh sejarah.
Krusialitas
Jilbab
Mencermati
kembali pesan Imam Khomaini r.a
tentang hukum jilbab, maka dengan mudah dapat dipahami esensinya permasalahan
ini. Jilbab dalam Islam dipandang sebagai problema prinsip dan barang siapa
yang mengingkarinya berarti dianggap kafir, kecuali dipastikan ia tidak
mengingkari Allah dan Rasulullah Saw.
Hukum jilbab
sangat jelas dan yang menjadi topik aktual pembahasan selanjutnya terkait
dengan batasan jilbab itu sendiri. Sejauh mana al-Quran menetapkan batasan
jilbab seorang Muslimah. Mengenai batasan jilbab yang menutupi seluruh badan
perempuan, kecuali wajah dan telapak tangan ternyata juga disepakati oleh
seluruh ulama’. Jadi, tidak ada hal yang saling meragukan bahwa konseptualisasi
jilbab dalam Islam menutupi seluruh badan, kecuali wajah dan telapak tangan.
Jilbab
Secara Hakiki
Pada hakikatnya,
jilbab bukanlah suatu persoalan apakah sebaiknya perempuan yang hadir di tengah
masyarakat menggunakan jilbab atau tidak. Melainkan jilbab dalam Islam
merupakan sebuah sistem nilai dan sosial masyarakat Muslim. Dengan jilbab,
problematika yang berhubungan dengan kebutuhan biologis sekadar diterapkan di
lingkungan rumah tangga dan dalam kerangka pernikahan yang absah. Sedangkan
lingkungan sosial dan tempat kerja murni untuk beraktivitas, walhasil mencapai
lebih maksimal.
Secara
filosofis menggunakan jilbab dijelaskan dalam pelbagai dimensi, spiritual,
kekeluargaan, masyarakat dan menjaga kehormatan seorang Muslimah itu sendiri.
Maka dari itu lah, etika perempuan perlu disandingi teladan yang baik (bil
uswatun hasanah) dengan menunjukkan identitasnya bahwa dengan jilbab
perempuan mampu menarik perempuan yang masih belum merealisasikannya.
Sebenarnya
sejak awal seputar Jilbab bukanlah hasil ciptaan Islam, tetapi konteks ini di
kalangan sosial masyarakat sebelum Islam jilbab telah dikenal sebagai pakaian
penutup perempuan (kehormatan). Tak terkecuali Islam sebagai satu sistem nilai
memoles jilbab dan menyempurnakannya dengan nilai keislaman, baik dari sisi
batasannya dan juga filosofinya.
Jilbab tidak
menafikan kebanggaan umat manusia, tetapi pada saat yang sama juga bukan
sporter gaya hidup kerahiban. Jilbab adalah salah satu metode Islam untuk
mencegah rusaknya masyarakat. Karena dampak dari kerusakan ini tidak hanya
menimpa diri, tapi akan merambah kepada keluarga, masyarakat bahkan satu
bangsa.
Tentunya,
segala cara dipergunakan oleh Islam dalam upaya mencegah kerusakan masyarakat.
Di satu sisi, jilbab merupakan strategi efektif mencegah kerusakan tersebut.
Jilbab adalah simbol hubungan sosial masyarakat Islam dan bukan sekadar aturan
berpakaian. Jilbab menjadi jembatan hubungan sosial antara seorang Muslim dan
Muslimah. Berarti, jilbab merupakan sebuah gaya yang paling aktual seorang
muslim di tengah masyarakat Islam.
Melihat jilbab
sebagai gaya kehidupan dan sistem nilai masyarakat Islam, maka sistem nilai ini
akan berdampak besar sosial dan ekonomi masyarakat Islam. Satu hal yang tidak
diinginkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia. Karena mereka juga menawarkan
gaya hidup sesuai dengan ideologinya.
Ketika mereka
memandang kaum perempuan sebagai produk dan bahkan alat untuk menjual
produknya, Islam meletakkan posisi perempuan yang tinggi sebagai manusia yang
dapat mencapai kesempurnaan sama seperti yang berhasil diraih oleh kaum pria.
Dampak dari cara pandang ini, mereka justru menyebarkan budaya ketelanjangan
perempuan agar dapat merealisasikan tujuannya. Sebaliknya, Islam justru memberi
pakaian kehormatan kepada perempuan agar mereka dapat melakukan aktivitas dan
berinteraksi dengan masyarakat dan menjadi dirinya sendiri sesuai yang
diajarkan Islam.
Pada akhrinya,
seputar jilbab sudah menjadi bahan dasar, dan medan perselisihan politik dimana
ini menjadi sistem nilai antara Islam dan non-Islam, tetapi bukan hanya perbedaan kultur budaya Islam dalam adab
berpakaian.
*) Penulis Sebagai
Anggota Tongkrongan Pecinta Menulis (TOPLIS) Fak. Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar